Minggu, 03 Juli 2011

Cegah Kelumpuhan Partai Politik


Ironis ketika bangsa kita menjunjung tinggi demokrasi, namun pada prakteknya partai politik masih terkesan mengusung semangat aristokrasi. Partai politik terlihat seperti milik segelintir kelompok yang terafiliasi ke dalamnya. Politik figur begitu kental di dalam kancah perpolitikan Indonesia. Suatu partai dikenal karena sebuah nama besar yang menyokongnya. Apabila nama besar tersebut dirasa sudah pantas memasuki masa ‘’purna baktinya’’, maka tampuk kekuasaan diwariskan kepada keturunan-keturunannya atau setidaknya kepada kerabat dekatnya.

Sering terdengar bahwa partai politik seakan-akan melakukan pengkhianatan terhadap kadernya. Sebabnya tidak lain adalah karena ada partisan baru yang memiliki kapabilitas untuk membesarkan nama partai tersebut. Kapabilitas dalam hal ini dapat diterjemahkan sebagai sokongan dana yang kuat. Partai seringkali langsung mengorbitkan orang tersebut. Maka jangan heran apabila banyak ditemui pengusaha yang kemudian menjadi politisi. Walau kondisi seperti ini bukan sesuatu yang diharamkan, namun ada baiknya partai politik mampu melihat bahwa kejadian-kejadian tersebut di atas dapat menggerus antusiasme masyarakat terhadap keberadaan partai politik.

Kekecewaan masyarakat terhadap partai politik semakin menggunung ketika wakil rakyat yang terpilih lebih mengutamakan nafsu pribadinya daripada menyuarakan kepentingan konstituennya. Alih–alih sebagai ajang aktualisasi diri, jabatan wakil rakyat dijadikan sebagai sebuah mata pencaharian. Kegemaran studi banding yang tanpa mempertimbangkan berbagai hal, membuat masyarakat semakin enggan untuk terlibat dalam perjuangan idealisme dari suatu partai politik. Masyarakat justru mempertanyakan di mana peran partai politik dalam mengawasi kinerja anggotanya.

Tingginya ketidakpedulian masyarakat dalam pemilihan umum sudah seharusnya menjadi perhatian partai. Rakyat bukan lagi pihak yang dapat dipaksa untuk memilih di antara beberapa jenis menu yang disodorkan partai. Akibatnya, banyak rakyat yang memilih tindakan ‘puasa’ politik daripada memakan salah satu menu itu. Pada akhirnya persepsi yang muncul adalah bahwa partai politik hanya menyediakan pil kekecewaan dalam kemasan yang berbeda-beda.

Jika partai jeli melihat situasi ini, sudah sepantasnyalah koreksi internal diterapkan demi meraih kembali simpati dari masyarakat. Sikap reaktif terhadap perkembangan intelegensia di masyarakat akan membuat partai dapat berkembang menjadi sarana aspirasi masyarakat. Bukan lagi hanya sebagai alat pencapaian kekuasaan. Pada tingkat inilah partai akan mencapai kedewasaan dalam berdemokrasi. Sudah waktunya partai bangkit dari tidur panjangnya. Kaderisasi dengan seleksi ketat sangat dibutuhkan. Suatu partai dibentuk bukan semata–mata untuk memperoleh kursi kekuasaan tapi sebagai bentuk perjuangan kemerdekaan di dalam beraspirasi. Suatu partai menjadi besar bukan karena kuantitas partisipannya, namun besar karena cita–citanya yang luhur dalam memajukan bangsa. Sudah saatnya partai dapat berpikir jauh ke depan demi menggapai mimpi menuju Indonesia yang lebih baik. (*)

Tulisan ini juga dimuat dalam:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar